Hal yang menurutku sedikit ganjil ketika berada di Amerika adalah mereka tidak punya Ujian Sekolah ataupun Ujian Nasional seperti Indonesia. Untuk lulus dari sekolah, hanyalah diperlukan nilai dan rekomendasi dari guru masing-masing kelas yang diambil. Setiap guru mempunyai standar nilai yang berbeda-beda, tetapi untuk nilai keseluruhan harus bisa lebih dari 95 atau tergantung dari kebijakan sekolah masing-masing (karena semua sekolah mempunyai hak otoriter untuk menentukan sendiri kebijakan sekolah yang akan diambil).
Dan akhir tahun pelajaranpun datang, hal yang paling ditunggu setiap siswa adalah Graduation atau upacara kelulusan. Setiap sekolah pasti mengadakan Graduation Ceremony atau upacara kelulusan dimana semua siswa yang lulus SMA mengadakan upacara formal di suatu tempat yang resmi pula. Sekolahku mengadakan upacara kelulusan di Gedung Augusta Civic Center yang dihadiri oleh semua keluarga dari siswa, bapak ibu guru, juga semua perangkat Dinas Pendidikan Daerah. Hal yang paling indah adalah ketika kami dipanggil satu persatu untuk maju ke atas panggung kemudian Bapak Kepala Sekolah beserta beberapa Bapak Ibu dari Dinas Pendidikan memberi Diploma (Ijasah) kepada kami diiringi tepuk tangan seluruh penonton yang datang.
Setelah selesai upacara kelulusan, semua siswa yang telah dinyatakan lulus harus ikut suatu Graduation Party dari sekolah yang diberi nama Project Graduation. Bertempat di gedung yang sama, acara ini dimulai pukul 20:00 hingga 05:00 pagi. Ini sengaja diadakan semalam suntuk untuk menghindari pesta-pesta bebas yang biasa diadakan oleh siswa siswi yang telah lulus di luar sekolah. Untuk menarik perhatian para siswa, sekolah memberi ratusan doorprize yang diundi setiap jam. Lebih lama berada disitu, lebih besar kesempatan mendapatkan doorprize yang lebih besar. Di tempat itu disediakan pula berbagai macam makanan dan minuman gratis juga berbagai macam game yang bisa dinikmati bersama.
Tepat pukul 03:00, aku mendapatkan doorprize sebuah kulkas. Aku kaget dan bingung bagaimana cara membawa doorprize itu kembali ke Indonesia, haha. Tapi untungnya selang beberapa hari, salah satu temanku mau membeli kulkas itu dariku (karena aku jual dengan harga miring) juga karena dia perlu kulkas untuk asrama barunya di kampus.
Disana tidak pernah aku temui sepeda motor, hanya sekali-sekali kutemui moge (motor gede) yang dikendarai oleh orang-orang dewasa. Dan itupun hanya waktu musim panas. Setiap siswa SMA mengendarai mobilnya ke sekolah. Bagi siswa yang belum mempunyai SIM (Surat Izin Mengemudi) diantar jemput oleh bus-bus milik sekolah.
Sebagian besar dari siswa SMA yang sudah berusia diatas 18 tahun, dibelikan mobil oleh orang tua mereka sebagai sarana transportasi selayaknya orang tua Indonesia membelikan motor untuk anaknya. Namun, untuk keperluan bahan bakar, sepenuhnya adalah tanggungan dari siswa itu sendiri. Jadi tak salah kalau banyak siswa SMA yang bekerja paruh waktu. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pelayan restoran (waiter/waitress), nanny (babysitter), atau juga sebagai guard di kolam renang. Dengan gaji $6.5-$8.5 (Rp 60.000 – Rp 80. 000) per jam, mereka harus pandai-pandai mengatur keuangan disamping untuk membeli bensin, juga ditabung untuk biaya kuliah.
Pada bulan terakhir di Amerika, barulah kusadari arti dari open-minded dan understanding (rasa saling mengerti akan perbedaan). Setiap kali aku bertemu dengan teman, keluarga, ataupun guru-guruku, kami selalu saling memeluk dan bertanya kabar. Setiap kali aku minta mereka untuk berfoto denganku, mereka selalu mengikatkan tangan mereka ke pinggangku. Terkadang mereka bercerita tentang kesan mereka kepadaku dan hal-hal lucu lain yang pernah kita alami bersama. Mereka berkata, “We had fun with you!” dan mereka mengajakku pergi ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi.
Pagi hari terakhir bersama mereka di Maine, mereka mengajakku ke pantai bersama (untuk yang kedua kalinya). Mereka hanya ingin menunjukkan seperti apa sebenarnya pantai Amerika itu (yang ternyata kita sebagai orang Indonesia harus bersyukur karena mempunyai alam termasuk pantai yang jauh jauh lebih indah daripada milik mereka).
Sorenya, mereka datang ke rumahku hanya untuk ngobrol dan bermain game. Aku kira itulah saat terakhir aku bertemu mereka, tapi ternyata mereka datang kembali ke rumahku malamnya. Dan itulah benar-benar saat terakhir aku bertemu mereka. Kami berpelukan dan said goodbye, hingga beberapa dari mereka meneteskan air mata Mereka keluar rumahku dengan kalimat terakhir, “I love you, Silvia <3 .="" hatiku="" itu.="" kata-kata="" menangis="" mendengar="">Malamnya adalah hal paling buruk dalam masa stayku di Amerika, BERPAMITAN KEPADA ORANG TUA ASUH!!! Malam itu juga, kami duduk di ruang keluarga. Kemudian orang tua asuhku memberikan hadiah terakhir untukku yang salah satunya adalah kalung yang satu sisinya bergambar beberapa hati yang saling terhubung, kata mereka itu adalah simbol dari keeratan sebuah keluarga. Sisi lainnya bertuliskan, “In our hearts, ALWAYS Mohammed Family”. Hanya sekedar informasi, setiap keluarga di Amerika mempunyai nama belakang yang sama, sesuai dengan nama belakang dari kepala keluarganya. Keluargaku bernama Mohammed Family karena host dadku bernama belakang Mohammed. Host sisterku, Nadia, memberikan buku anak-anak yang biasa aku bacakan untuknya tiap malam berjudul “Llama-Llama Red Pajama”. Setiap kali aku baca buku itu, aku selalu teringat akan Nadia dan Amerika.3>
Terima kasih bapak, ibu, adik, teman-teman, juga seluruh guru-guruku TK PGRI Jambon, SD Negeri 2 Krebet, SMP Negeri 1 Kauman, dan utamanya SMA Negeri 1 Ponorogo yang telah membantu dan membimbingku, sehingga saya bisa pergi ke Amerika.
Thank you for all the experiences America! I’m going to miss you, so much
No comments:
Post a Comment
Comments here: