Seiring dengan perkembangan zaman yang harus diikuti oleh perkembangan ilmu
pengetahuan, maka tak salah jika SMA Negeri 1 Ponorogo (SMAZA) mempunyai suatu
terobosan baru berbentuk Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Hal
itu juga bertujuan untuk terus menambah kualitas pelayanan SMA Negeri 1
Ponorogo kepada siswa-siswinya.
Sesuai dengan BAB XIV Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus
mengambangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf
internasional (Majalah WaGa Edisi 7 tahun 2009).
Di Ponorogo, sebelum tahun 2008, setidaknya telah ada dua sekolah setara
dengan SMA yang bertaraf internasional. Dan sejak tahun pelajaran 2009-2010
lalu, SMA Negeri 1 Ponorogo menyusul dengan mengubah statusnya menjadi RSBI SMA
Negeri 1 Ponorogo.
Membuka kelas internasional bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali
tantangan yang harus dihadapi. Selain menuntaskan kurikulum nasional, sekolah
juga harus membuka kurikulum internasional. Dari segi sarana dan prasarana
misalnya, kurikulum internasional sudah mengarah ke basis TI (Teknologi
Informasi). Setiap ruangan harus memiliki fasilitas multimedia. Hal ini sudah
dipenuhi dengan baik oleh SMA Negeri 1 Ponorogo. Namun selain itu, kemampuan TI
seluruh pengajar pun harus ditingkatkan. Dengan status RSBI, semua guru harus
bisa memakai komputer. Hal yang lebih sulit lagi, standar RSBI adalah 30%
dari keseluruhan guru harus berkualifikasi S2. Guru harus menyajikan materi
dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sudahkan hal itu
tercapai di SMAZA?! Pertanyaan yang benar-benar menggelitik penulis.
Menurut penelitian penulis, yang juga salah satu siswi SMAZA, bahwa guru
Bahasa Inggrispun masih tetap mengajar dengan Bahasa Indonesia, bahkan Bahasa
Jawa. Hal ini bisa menjadi tolak ukur seberapa jauh penerapan kurikulum
internasional tersebut. Penulis juga menyadari seberapa besar usaha yang
dilakukan oleh para guru yang melakukan kursus Bahasa Inggris untuk memenuhi
standar, juga para siswa-siswi yang mencoba menerapkan English Day. Namun, dengan
penerapan yang masih kurang sekali, kapankah SMAZA benar-benar mempunyai guru
dan siswa yang bisa berkomunikasi dengan Bahasa Inggris sesuai dengan hal yang
harus dipenuhi sebagai sekolah yang berstatus RSBI?!
Satu lagi hal yang sangat perlu dimiliki oleh SMAZA, yaitu guru yang
profesional. Bukan hanya masalah bahasa, namun setiap guru hendaknya mempunyai
target mengajar setiap minggu, seperti contoh Guru A yang mempunyai target 3
bab harus selesai dalam jangka waktu satu minggu. Sehingga tidak ada istilah siswa
harus masuk kelas jam ke-0 (nol / jam enam pagi) untuk mengejar ketertinggalan
pelajaran di jam-jam normal. Penulis merasa bahwa masuk kelas pada jam
ke-0 adalah hal yang sangat tidak normal sekali dilakukan. Salah satu hal yang
mendasari hal ini perlu dihapus adalah karena letak rumah siswa-siswi SMAZA
yang berbeda. Banyak para murid SMAZA yang bertempat tinggal lebih dari 20 km,
yang berarti harus menempuh perjalanan selama minimal 45 menit untuk sampai ke
sekolah. Jika murid tersebut harus masuk jam
ke-0, maka kurang lebih dia harus berangkat sebelum pukul 5. 15. Belum
lagi jika pelajaran ke-0 diadakan antara hari Senin hingga Kamis yang juga
bersamaan dengan full day school. Para murid harus merelakan dirinya berada di sekolah dan diajar selama lebih
dari 10 jam. Berada di sekolah lebih dari 7 jam adalah suatu prestasi
tersendiri dari SMAZA. Penulis merasa kagum terhadap keberhasilan SMAZA yang
mampu mengurung semua siswanya begitu lama.
Menurut penelitian penulis, sekolah internasional seperti di Amerika
Serikat masuk mulai pukul 7.00 hingga 13. 30 atau dari pukul 9:00 hingga pukul
15:30. Namun setelah sekolah berakhir, biasanya para siswanya tetap tinggal di
sekolah untuk memulai aktivitas ekstarakurikuler dan olahraga yang mereka
pilih, bahkan hingga larut malam. Kita bisa bandingkan bagaimana sekolah
luar negeri bekerja. Mereka tidak pernah memaksa siswanya untuk tetap berada di
dalam kelas dan diajar oleh guru hingga larut sore. Namun, karena kesadaran siswa
itu sendiri, mereka merasa nyaman berada di sekolah karena mereka merasa
sekolah adalah rumah kedua. Mereka merasa harus melakukan dan mengerjakan tugas
sekolah karena kesadaran mereka masing-masing, bukan karena paksaan dari
pengajar. Hal inilah yang membuat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah
terasa asyik dan menyenangkan.
Alasan lain para siswa Amerika merasa nyaman ketika berada di sekolah
adalah adanya fasilitas sekolah yang memadai. Contoh mudahnya saja hanyalah
waktu istirahat yang cukup untuk mempersiapkan pelajaran selanjutnya, sehingga
semua siswa tidak pernah terforsir waktunya hanya untuk duduk di dalam kelas,
melihat guru menerangkan suatu materi, namun pikiran entah kemana. Di Cony
High School, dimana penulis pernah bersekolah selama satu tahun, istirahat
makan adalah 45 menit, padahal lama jam pelajaran seluruhnya hanyalah 6,5 jam.
Itupun para siswa tidak perlu mengantri terlalu lama di kantin sekolah karena
setiap tingkat kelas mempunyai jam istirahat yang berbeda. Didukung dengan lebar
kantin antara 20x6 meter dengan lima pintu masakan (dengan
masakan yang berbeda setiap hari), para siswa tidak perlu khawatir tidak
kebagian tempat dan tidak kebagian makanan.
Satu hal lagi yang belum pernah penulis temui di SMAZA adalah kantin yang
tutup selama jam pelajaran. Penulis secara tidak langsung membandingkan hal
tersebut dengan sekolah di Amerika. Disana, kantin sekolah hanya buka selama 45
menit, hanya selama istirahat berlangsung. Hal ini bertujuan agar para siswanya
tidak keluar mencari makanan di tengah-tengah jam pelajaran, atau hanya
beralasan tidak ada waktu untuk ke kantin karena waktu istirahat tidak cukup.
Bahkan yang lebih parah adalah siswa yang beralasan terlambat masuk ke kelas
karena antri di kantin sekolah. Makananpun menjadi hal yang perlu
diperhatikan oleh sekolah. Dengan disidiknya semua makanan yang dijual di
kantin sekolah, seharusnya tidak ada pidato kepala sekolah yang menyatakan
bahwa makanan ringan yang mengandung terlalu banyak MSG adalah makanan yang
tidak baik dikonsumsi oleh siswa SMAZA. Setelah semua masalah bisa
teratasi, full day school pun tak menjadi beban bagi semua siswa. KBM akan
menjadi menyenangkan, sekolah bagaikan rumah kedua, dan kualitas siswa pun
meningkat.
Tak ada gading yang tak retak. Penulispun menyadari akan kemampuan SMAZA
dan perlunya waktu untuk menjadikan SMAZA tak hanya bernama RSBI, namun juga
menerapkan kurikulum yang berstandar RSBI. Berlatar belakang hasil liputan
Team WaGa (Warta Ganesha) Edisi 1 Tahun 2006 dengan Kepala Sekolah SMA Negeri 1
Ponorogo, Drs. Hastomo, salah satu kendala dari perwujudan RSBI adalah perlunya
tambahan dana. Hal ini menurut penulis haruslah sedikit demi sedikit teratasi
oleh dibukanya kelas RSBI sejak dua tahun yang lalu karena dengan dibukanya
kelas RSBI, berarti setiap siswa mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah
uang lebih untuk sekolah demi terpenuhinya sarana dan prasarana standar kelas
RSBI.
Tulisan ini seingat saya diajukan ke lomba esai HUT SMA 1 Po yang akhirnya tidak menang karena
ada peraturan baru lomba ini hanya diperuntukkan untuk kelas X dan XI,
sedangkan saya sudah kelas XII. Oh, life!